Membanggakan Urang Awak, Mesjid Raya Sumbar Menjadi Mesjid Desain Terbaik Di Dunia



MINANG TIME- Khalayak Sumatera Barat patut berbangga karena salah satu bangunan megah ikon wisata religi di sumatera barat yaitu mesjid raya sumatera barat menjadi salah satu masjid dengan desain terterbaik di dunia, dinobatkan sebagai pemenang penghargaan untuk desain arsitekturnya yang istimewa dan menarik, bersama enam masjid lainnya

Masjid Raya Sumatra Barat yang berlokasi di kota Padang menjadi pemenang Abdullatif Al-Fozan Award, dimana ajang penghargaan tersebut menampilkan karya dan desain masjid dari negara-negara berpenduduk Muslim dunia. Penerima penghargaan tersebut, Rizal Muslimin yang menjadi perancang desain Masjid Raya Sumatera Barat. Rizal berasal dari kantor arsitektur kenamaan asal Bandung, Urbane Indonesia (UI).  

Rizal adalah arsitek dari kantor konsultan arsitektur Urbane yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat. dikutip dari laman wikipedia Desain hasil rancangannya terinspirasi dari bentuk gonjong rumah gadang dengan penyesuaian kebutuhan geometri ruang ibadah yang berdenah bujur sangkar. Secara personal, ia telah lama mengeksplorasi elemen-elemen arsitektur Minangkabau. “Kenapa saya bisa menghasilkan bentuk masjid yang bisa diterima banyak orang, karena saya sudah sejak lama suka pada arsitektur rumah gadang, tidak bisa dibikin-bikin. Dari hal yang disukai, akan muncul hal- hal yang baik, jadi elemen-elemen yang muncul dalam desain merupakan hal-hal yang sudah lama saya apresiasi.”

Penghargaan Abdullatif Al Fozan untuk Arsitektur Masjid membahas ide-ide baru untuk desain masjid di seluruh dunia dan mendorong inovasi dalam perencanaan, desain, dan teknologi yang dapat membentuk identitas arsitektur masjid di abad kedua puluh satu, Ada empat kategori yaitu masjid pusat, masjid Jam', masjid lokal dan masjid komunitas. Motto dari penghargaan ini adalah "Arsitektur Masjid di 21st Century".

Sebanyak 201 masjid di 43 negara telah dinominasikan untuk penghargaan internasional, 27 di antaranya terpilih danakhirnya tujuh diumumkan sebagai pemenang utama.

Berikut tujuh pemenang edisi ketiga masjid dengan desain arsitektur terbaik yaitu:


  1.  Masjid Raja Abdullah di Riyadh
  2. Masjid Basuna di desa Basuna Sohag Mesir
  3.  Masjid Al-Ahmar di Bangladesh
  4. Masjid Raya Sumatra Barat di Indonesia
  5. Masjid Sancaklar di Buyukcekmece Istanbul Turki
  6. Masjid Amir Shakib Arslan di Lebanon
  7.  Masjid Agung Djenne di Mali

Abdullatif Alfozan Award adalaa ajang penghargaan yang di selenggarakan pertama kalinya pada tahun 2011. Sejak saat itu Abdullatif Al Fozan award telah berlangsung sebanyak tiga kali. 

Tiga tahun kemudian, penghargaan ini mulai mencakup desain masjid yang ada di negara-negara Teluk. Di tahun ketiga pada 2017, cakupan peserta meluas hingga ke negara-negara lain dengan penduduk Muslim

Masjid Raya Sumatra Barat (Jawi: مسجد راي سومترا بارت) adalah masjid terbesar di Sumatra Barat yang terletak di Jalan Chatib Sulaiman, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang. Diawali peletakan batu pertama pada 21 Desember 2007, pembangunannya tuntas pada 4 Januari 2019 dengan total biaya sekitar Rp325–330 miliar, sebagian besar berasal dari APBD Sumatra Barat. Pengerjaannya dilakukan secara bertahap karena keterbatasan anggaran dari provinsi.


Konstruksi masjid terdiri dari tiga lantai. Ruang utama yang dipergunakan sebagai ruang salat terletak di lantai atas, memiliki teras yang melandai ke jalan. Denah masjid berbentuk persegi yang melancip di empat penjurunya, mengingatkan bentuk bentangan kain ketika empat kabilah suku Quraisy di Mekkah berbagi kehormatan memindahkan batu Hajar Aswad. Bentuk sudut lancip sekaligus mewakili atap bergonjong pada rumah adat Minangkabau rumah gadang.


Dikutip dari laman wikipedia.org Kerajaan Arab Saudi pernah mengirim bantuan sekitar Rp500 miliar untuk pembangunan masjid, tetapi karena terjadi gempa bumi pada 2009, peruntukan bantuan dialihkan oleh pemerintah pusat untuk keperluan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana. Pada 2015, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla meminta anggaran pembangunan dipangkas.


Pemangkasan anggaran membuat desain masjid berubah di tengah jalan, termasuk pengurangan jumlah menara dari awalnya empat menjadi satu


Ide Pembangunan Mesjid Raya Sumbar


Gagasan pembangunan Masjid Raya Sumatra Barat bergulir sejak 2005. Padang selaku ibu kota provinsi dianggap tidak memiliki masjid yang representatif untuk menampung jemaah dalam jumlah banyak. Awalnya, Gubernur Sumatra Barat Zainal Bakar memutuskan cukup melakukan renovasi terhadap Masjid Nurul Iman karena pembangunan sebuah masjid baru akan banyak menghabiskan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun, gubernur berikutnya Gamawan Fauzi menganggap keberadaan masjid yang representatif penting untuk dijadikan tempat berbagai kegiatan keagamaan.


Pada Januari 2006, berlangsung pertemuan bilateral antara Indonesia dan Malaysia yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi di Bukittinggi. Salah satu hari dalam rangkaian pertemuan bertepatan dengan hari Jumat. Meski di Padang terdapat beberapa masjid besar, panitia acara tidak melihat ada "masjid yang tepat" bagi kedua kepala negara untuk melaksanakan salat Jumat, sehingga lokasi yang dipilih adalah Masjid Agung Tangah Sawah di Bukittinggi.


Berkaca dari peristiwa di Bukittinggi, Pemerintah Provinsi Sumatra Barat memutuskan untuk mematangkan rencana pembangunan masjid. Sewaktu pemilihan lokasi, sempat muncul usulan agar masjid baru dibangun di lokasi Kantor Gubernur di Jalan Sudirman. Namun, karena alasan nilai historis gedung tersebut, disepakatilah lokasi di Jalan Chatib Sulaiman, menempati area seluas 40.343 meter persegi.


Corak Arsitektur


Masjid Raya Sumatra Barat menampilkan arsitektur modern yang tak identik dengan kubah. Menurut sejarawan UIN Imam Bonjol Padang Sudarman, masjid ini sangat mengakomodasi arsitektur lokal, terutama gonjong dan ragam hias rumah gadang.


Meskipun demikian, bentuk atap masjid terinspirasi dari bentangan kain sorban Nabi Muhammad yang digunakan untuk mengusung batu Hajar Aswad. Ketika empat kabilah suku Quraisy di Mekkah berselisih pendapat mengenai siapa yang berhak memindahkan batu Hajar Aswad ke tempat semula setelah renovasi Ka'bah, Nabi Muhammad memutuskan meletakkan batu Hajar Aswad di atas selembar kain sehingga dapat diusung bersama oleh perwakilan dari setiap kabilah dengan memegang masing-masing sudut kain.


Bangunan utama Masjid Raya Sumatra Barat memiliki denah dasar seluas 4.430 meter persegi. Konstruksi bangunan dirancang menyikapi kondisi geografis Sumatra Barat yang beberapa kali diguncang gempa berkekuatan besar. Masjid ini ditopang oleh 631 tiang pancang dengan fondasi poer berdiameter 1,7 meter pada kedalaman 7,7 meter. Dengan kondisi topografi yang masih dalam keadaan rawa, kedalaman setiap fondasi tidak dipatok karena menyesuaikan titik jenuh tanah tanah.


Ruang utama yang dipergunakan sebagai tempat salat terletak di lantai atas berupa ruang lepas. Lantai atas dengan elevasi tujuh meter terhubung ke permukaan jalan melalui ramp, teras terbuka yang melandai ke jalan. Dengan luas 4.430 meter persegi, lantai atas diperkirakan dapat menampung 5.000–6.000 jemaah. Adapun lantai dua berupa mezanin berbentuk leter U memiliki luas 1.832 meter persegi.


Konstruksi rangka atap menggunakan pipa baja. Gaya vertikal beban atap didistribusikan oleh empat kolom beton miring setinggi 47 meter dan dua kolom busur bersilang yang mempertemukan kolom beton miring secara diagonal. Setiap kolom miring ditancapkan ke dalam tanah dengan kedalaman 21 meter, memiliki fondasi tiang bor sebanyak 24 titik dengan diameter 80 centimeter. Pekerjaan kolom miring melewati 13 tahap pengecoran selama 108 hari dengan memperhatikan titik koordinat yang tepat


Desain Mesjid Raya Sumbar Pernah Dikritik


Rancangan Masjid Raya Sumatra Barat hasil sayembara pernah menuai kritik, terutama disuarakan oleh DPRD Sumatra Barat. Ketua DPRD Leonardy Harmainy menyebut rancangan masjid tidak lazim lantaran tidak memiliki kubah. Polemik sekaitan kubah mengakibatkan tertundanya pelaksanaan pembangunan.

Polemik baru mereda setelah terjadinya gempa bumi pada 13 September 2007. Di tengah beralihnya fokus publik pada gempa, Gubernur Gamawan Fauzi melakukan peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan Masjid Raya Sumatra Barat pada 21 Desember 2007



Penulis : Fikri Haldi

0 Comments

Post a Comment