Pengakuan Hutan Adat Malalo Tigo Jurai Oleh Pemda di Nilai Sangat Lamban



Ditulis oleh: Roni Pasla. SH


OPINI--Lima puluh empat persen wilayah Sumatera Barat merupakan kawasan hutan yang didominasi oleh hutan lindung, konservasi, dan produksi. Kawasan hutan tersebut sangat rentan terhadap ekspansi industri berbasis lahan yang dapat mengancam kelangsungan ekosistem, serta memicu konflik antara masyarakat dan perusahaan, serta membatasi akses kelola masyarakat yang sangat bergantung terhadap sumber daya alam sebagai sumber penghidupan dan ekonomi.


Disalah satu wilayah di Tanah Datar di sebelah Utara Danau Singkarak, masyarakat dua Nagari memiliki sebutan untuk Nagari adat mereka adalah Malalo Tigo Jurai. Malalo Tigo Jurai adalah Gabungan dari dua Nagari. Yaitunya Nagari Guguak Malalo dan Nagari Padang Laweh Malalo.


Disini penulis tidak berani menyimpulkan sendiri tentang asal usul sebutan Malalo Tigo Jurai, Namun penulis dapat Memandang dari segi lain, Bahwasanya dengan masih adanya sebutan Malalo Tigo Jurai ini menunjukkan Masih kompaknya Ninik mamak dalam dua Nagari tersebut. Bahkan dari penelusuran penulis di lapangan di Malalo Tigo Jurai tersebut masih sangat kental adat dan budayanya. Di dua Nagari ini memiliki pucuk Jurai yang di pimpin oleh seorang ninik mamak hal itu tak ubahnya dengan sistem Nagari Adat.


Itu menunjukkan bahwasanya kekompakan masyarakat adat Malalo Tigo Jurai, Serta masih menjunjung tinggi adat istiadat serta kebiasaan turun temurun dari para nenek moyang mereka.


Dalam hal ini, penulis juga tergabung dalam Tim Peduli Ulayat Nagari (TPUN) masyarakat Malalo pada dasarnya meminta kepada pemerintah kabupaten Tanah Datar untuk mempercepat pengakuan Hutan adat Ulayat Malalo Tigo Jurai tersebut dengan melahirkan Peraturan Daerah (PERDA) Hutan Adat yang sudah sejak Tiga tahun yang lalu di janjikan oleh Pemerintah Daerah itu.


Sebelumnya Penulis bersama Tim Ulayat Malalo Tigo Jurai sempat meninjau ke Bupati Tanah Datar pada (09/03/21) lalu. bupati Eka Putra menjanjikan akan memanggil pihak OPD terkait tentang pembentukan Perda hutan adat tersebut kira-kira kendalanya dimana, dan akan mencarikan solusinya. Namun hingga kini masyarakat Malalo Tigo Jurai masih menunggu janji Bupati.


Hutan adat kini resmi disahkan menjadi milik komunitas adat, bukan lagi milik negara. Pengakuan ini datang dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 35/PUU-X/2012 mengenai hutan adat yang membatalkan sejumlah ayat dan pasal yang mengatur keberadaan hutan adat dalam UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.


Keputusan ini membawa sejumlah konsekuensi, diantaranya mekanisme pengukuhan tentang keberadaan masyarakat hukum adat, penetapan batas kawasan hutan adat, dan pembagian kewenangan antara masyarakat hukum adat dengan negara dalam tata kelola hutan.


Hal tersebut di atur dalam UU No 5 Tahun 1960 adalah penegasan bahwa penguasaan dan pemanfaatan atas tanah, air, dan udara harus dilakukan berdasarkan asas keadilan dan kemakmuran bagi pembangunan masyarakat yang adil dan makmur.


Hal tersebut sejalan dengan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.


UU Pokok Agraria sebagai Landasan Pasal 385 KUHP Tentang Penyerobotan Tanah.


Kasus penyerobotan tanah bukan barang baru lagi di Indonesia. Dalam UU Pokok Agraria pasal 24 telah disebutkan “Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan perundangan.” Hal inilah yang menjadi landasan Pasal 385 KUHP untuk menindak kasus pidana penyerobotan tanah.


Pasal 385 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengancam pelaku penyerobotan tanah dengan dengan ancaman pidana paling lama empat tahun. Ini berlaku bagi siapa saja yang secara melawan hukum, menjual, mengelola, menukarkan, menghibahkan dan lain-lain suatu hak tanah yang bukan hak miliknya.


Perlunya pengakun hutan adat, Selain untuk menyelamatkan hutan, dan menyerahkan pengelolahannya kepada masyarakat adat, pengakuan Hutan adat ini juga dapat menghindari maraknya praktik Penyerobotan Tanah oleh Pelaku Bisnis dan investor Asing.


Besarnya optimisme pada kemampuan masyarakat adat untuk melakukan tata kelola terhadap hutan adat ini sempat dipertanyakan. Tanah dan hutan merupakan sumber daya terbatas yang kian jadi rebutan berbagai pihak, terutama pelaku bisnis, yang akan menempuh berbagai cara, termasuk jalur hukum untuk mendapatkan kepemilikan tanah.


Tanpa kecakapan akan hukum, masyarakat hukum adat sangat rentan untuk dikalahkan dalam konflik dalam penguasaan tanah dan hutan ini. Karena itu, selain mengupayakan penguatan status mereka sebagai subyek hukum melalui revisi dan perbaikan atas berbagai peraturan yang ada, peningkatan kapasitas masyarakat hukum adat perlu pula dipikirkan dan diupayakan juga.


Dari lambanya pengakuan terhadap Hutan Adat Malalo Tigo Jurai ini, Sudah menimbulkan dampak yang sangat buruk, seperti yang di kabarkan oleh media-media lokal di Tanah Datar, Telah terjadi konflik antar wilayah terhadap kepemilikan Tanah Ulayat Antara Malalo Tigo Juarai dengan Nagari Sumpur.


Selain mempercepat pengakuan Hutan adat, serta terhadap konflik yang terjadi, pemerintah kabupaten Tanah Datar harus bertanggung jawab. Serta mencarikan solusi terbaik terhadap konflik yang belum kunjung usai tersebut agar tidak lagi menimbulkan kerusuhan dan konflik baru di wilayah itu.(***)








0 Comments

Post a Comment