Meluruskan Kiblat Politik Identitas

 


MINANGTIME.COM, OPINI - Dunia media online dan cetak di Indonesia akhir-akhir ini diramaikan oleh politik identitas. Wacana ini kemudian menimbulkan kontroversi apakah suatu kelompok boleh menggunakan politik identitas atau tidak, atau bagaimana hubungan antara politik identitas dan politik praktis.


Kontroversi politik identitas sebenarnya berawal dari perbedaan dalam memahami konsep dan menempatkannya dalam konteks. Konteks ini meliputi konteks ruang, waktu, dan kondisi yang mendasarinya. Sebagai sebuah konsep, politik identitas tidak dapat dipisahkan dari konteksnya, karena konteks dapat menjadi acuan pemaknaan dan pemahaman sebuah konsep. Dengan demikian, mengabaikan konteks konsep politik identitas sama saja dengan melahirkan pemahaman konseptual baru yang salah dan sesat.


Politik identitas terdiri dari dua kata yaitu politik dan identitas. Politik adalah ilmu ketatanegaraan atau negara atau pemerintahan. Identitas menurut Hogg adalah konsep seseorang tentang bagaimana dirinya, seperti apa dirinya, dan bagaimana hubungannya dengan orang lain. Singkatnya, politik identitas adalah arah politik dengan identitas tertentu. Dalam karya Buya Syafi'i Maarif berjudul Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita.


Dalam Washington University Journal of Law and Policy berjudul Identity and Political Theory, Clarissa Rile Hayward berpendapat bahwa politik identitas adalah politik dimana seseorang berpartisipasi dalam mobilisasi yang sama berdasarkan pengalamannya, masalah politik, dan tujuan untuk kebaikan kelompok sesuai ke mereka.

Sementara itu, politik identitas dalam pandangan Lukmantoro lebih mengutamakan kepentingan tertentu dari anggota atau kelompok yang memiliki kesamaan identitas, karakteristik, baik berdasarkan kesamaan ras, suku, gender maupun agama. Politik identitas juga merupakan upaya politik untuk menyalurkan aspirasi dan mempengaruhi kebijakan publik yang dianggap bernilai. Dalam konteks politik identitas agama, ada upaya memasukkan nilai-nilai agama dalam sebuah kebijakan

Perjuangan politik identitas seringkali dipandang sebagai ancaman bagi pertumbuhan dan perkembangan demokrasi. Hampir bisa dipastikan bahwa politik identitas selalu ditempatkan pada arena dan ruang negatif sehingga menimbulkan stigma atau kecenderungan negatif. Apalagi ketika dalam suasana pemilihan umum, politik identitas tentu akan semakin kentara untuk dicermati.


Berbagai kelompok kepentingan dengan atribut identitasnya sebagai alat politik berdasarkan gender, agama, suku, dan budaya memvariasikan jangkauan politik identitas. Kehadiran kelompok politik identitas seringkali menimbulkan kegaduhan dan mengurangi kondusifitas masyarakat sehingga sebenarnya tidak salah jika politik identitas dianggap buruk.

Namun, jika politik identitas dianggap salah dan mutlak salah, tentu tidak benar jika dilihat dalam konteks Indonesia sebagai negara demokrasi yang majemuk, majemuk dan multikultural. Oleh karena itu memahami politik identitas mulai dari gejalanya dan mengapa itu muncul penting untuk menghasilkan keragaman persepsi yang multidimensi.

Indonesia sebagai negara demokrasi yang majemuk, yang terdiri dari berbagai karakteristik masyarakat yang sangat beragam mulai dari karakter dasar agama, sosial, ras, suku, budaya atau lainnya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa.


Kehadiran pluralitas sebenarnya merupakan kecenderungan yang kuat untuk menciptakan pemahaman bahwa semakin majemuk suatu bangsa, semakin beragam identitas yang dimilikinya. Artinya, munculnya politik identitas sangat logis mengingat Indonesia adalah negara yang majemuk. Namun akan dipertanyakan jika tidak ada politik identitas di negara yang majemuk. Meski begitu, tidak tertutup kemungkinan jika negara yang tidak plural akan tetap memunculkan kelompok politik identitas.


Urgensi demokrasi adalah memberikan ruang koreksi kepada kelompok di luar negara untuk mengawasi penyelenggaraan negara. Jika politik identitas dipandang sebagai ancaman bagi demokrasi, sama saja dengan menolak karakter Indonesia yang majemuk dan majemuk. Politik identitas lahir dengan konsep yang terukur dan jelas. Tidak dianggap absurd, abstrak, dan semu. Realitas pluralisme dalam demokrasi adalah politik identitas menjadi fenomena yang mewarnai demokrasi. Selain itu, konsep politik identitas dapat dilihat pada aspek-aspek yang bergerak dalam arena antara negara dan masyarakat. Sering disebut sebagai politik identitas sebagai ruang ekspresi dan kebebasan. Inilah yang sebenarnya diinginkan oleh demokrasi dimana ada jaminan yang jelas bagi kelompok yang keberadaannya terjamin. Atau pinjam istilah yang diciptakan oleh Toucquiville yang setara dengan asosiasi. Menurutnya, konsep demokrasi yang sejati harus memberikan ruang bagi tumbuh dan berkembangnya perkumpulan-perkumpulan yang bersifat sukarela, egaliter, mandiri dan mandiri dari negara. Demikian pula, kelompok politik identitas selalu berhadapan dengan negara sebagai mekanisme check and balances.


Demokrasi dan politik identitas berada dalam satu garis linier sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena keduanya berada dalam garis linier, demokrasi yang sehat justru akan melahirkan politik identitas yang baik. Demokrasi yang sehat akan selalu memberikan peluang dan ruang bagi kelompok-kelompok di luar pemerintahan untuk menyampaikan aspirasinya dan mengingatkan elit negara jika menyimpang dari sistem nilai demokrasi dalam perjalanannya. Politik identitas akan selalu muncul atas dasar identitas sebagai simbol yang diwakilinya. Meminjam pengertian politik identitas yang dikemukakan oleh Sri Astuti Buchari (2014) bahwa yang disebut dengan politik identitas adalah sarana perjuangan politik suatu kelompok etnis untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya sebagai perlawanan atau alat untuk menunjukkan identitas. Berdasarkan definisi Buchari, ada dua titik tekan politik identitas, yaitu perlawanan dan sebagai sarana untuk menunjukkan identitas suatu kelompok.


Kelompok perlawanan merancang kelompoknya sedemikian rupa sehingga sebuah label muncul di bawah payung besar politik identitas. Misalnya, kelompok berbasis gender yaitu perempuan melahirkan gerakan ekofeminis. Mereka akan terus menentang kebijakan negara karena menganggap negara telah melakukan tindakan yang merugikan mereka dan menguntungkan korporasi. Oleh karena itu, persoalan perlawanan ini didasarkan pada tindakan organisasi kekuasaan negara yang menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kelompok tertentu.


Kedua, tentang isu pengakuan pluralitas yang melahirkan sifat-sifat keberagaman dan identitas. Wajar jika pluralisme menciptakan banyak identitas dan negara harus mampu mengakui keberadaannya. Pertanyaannya, apakah negara memiliki kapasitas dan tempat untuk mengenali berbagai karakter identitas? Jika negara tidak mampu melakukan itu, maka tidak ada salahnya jika mereka menunjukkan identitasnya kepada publik untuk diakui, bahkan jika di luar kendali, maka ada kecenderungan untuk mendominasi. Seolah-olah identitasnya paling kuat dan tidak mencaplok identitas lain. Beginilah sebenarnya cara kerja politik identitas dalam ruang politik demokrasi. Politik identitas memerlukan kontrol dan demokrasi yang sehat juga berkontribusi besar terhadap lahirnya politik identitas yang baik.


Selama nilai-nilai demokrasi diwujudkan dengan cara yang sehat, otomatis kita akan membangun politik identitas yang baik begitu pula sebaliknya. Tapi memang itu sesuatu yang sulit. tapi yang terpenting ada kemauan dan usaha untuk meminimalisir keadaan ini.


Penulis : Safrinal (Dewan Pembina KIPDA Pasaman Barat)

0 Comments

Post a Comment