Memperingati 16 Hari ‘HAKTP’ “Momentum Perlawanan Demi Perempuan dan HAM di Indonesia”

 


Ditulis Oleh:  Ghita Ramadhayanti

Ketua Umum Kohati Badko HMI Sumatera Barat

November 2022 menjadi bulan yang sangat berkesan bagi perempuan dimanapun, termasuk Indonesia. Pasalnya, selama dua minggu lebih tersebut. perempuan dari seluruh penjuru dunia memperingati 16 days of Activism Againts Gender Violence (16 hari Melawan Kekerasan Terhadap Perempuan) yang berlangsung sejak 25 November  hingga 10 Desember. Kegiatan yang umumnya diisi dengan kampanye publik ini diinisiasi oleh sebuah kelompok perempuan yang berpusat di Universitas Rutgers, New Jersey, Amerika Serikat pada tahun 1991.

Penetapan jangka waktu selama 16 hari tesebut dikarenakan tanggal 25 November merupakan Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan ditutup pada 10 Desember sebagai Hari Hak Asasi Manusia Internasional. Selain itu, dalam rentang waktu tersebut, juga terdapat hari-hari penting internasional yang berkaitan dengan perempuan dan HAM, seperti 29/11 sebagai International Days of Women Human Rights Defender (WHRD), 1/12 Desember sebagai Hari Aids Sedunia, 2/12 sebagai Hari Penghapusan Perbudakan, 3/12 sebagai Hari Penyandang Disabilitas, 5/12 sebagai Hari Sukarelawan, 6/12 sebagai Hari Penolakan Toleransi atas Kekerasan Terhadap Perempuan, dan 9/12 sebagai hari pembela HAM sedunia.

Banyaknya momen yang mengisi waktu selama 16 hari tersebut bisa kita simpulkan sebagai bentuk kepedulian terhadap Perempuan dan HAM. Kita melihat, bahkan hingga saat ini, persoalan penindasan secara fisik maupun non-fisik masih marak terjadi yang pada akhirnya menjadikan kaum perempuan sebagai korban. 

Data yang didapat dari Komnas Perempuan, sejak Januari hingga November 2022, didapatkan 3.014 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Dari kasus tersebut juga, diantaranya terdapat 860 kasus yang berkaitan dengan kekerasan/pelecehan seksual di ranah publik. Tentu ini menjadi catatan besar bagi Indonesia yang dikenal sebagai “Negara Timur” atau Negara berbudaya.

Berbagai tindakan kekerasan bisa terjadi dalam berbagai bentuk, seperti kekerasan yang dilakukan oleh pasangan (pernikahan/pacaran), pelecehan seksual, human trafficking, mutilasi alat kelamin perempuan, dan juga pernikahan anak di usia dini.

 Akan tetapi, melihat kondisi hari ini, tindakan high violence seperti perdagangan manusia ataupun mutilasi sudah tidak begitu kelihatan jelas (meskipun masih ada) dikarenakan ketat dan sensitifnya isu HAM yang dibicarakan selalu dalam ruang publik. Namun, tindakan low violence seperti pelecehan seksual baik secara verbal maupun non-verbal masih menjadi catatan besar bagi bangsa dan Negara Indonesia hari ini.

Pada tulisan ini, penulis yang hari ini aktif sebagai Ketua Umum salah satu organisasi perempuan mencoba untuk menguraikan jenis-jenis kekerasan/pelecehan terhadap perempuan kontemporer yang bersifat low violence. Pertama, sentuhan. Aktivitas ini menjadi laporan yang cukup banyak penulis terima dari beragai informan ataupun juga dari berbagai infografis yang ditampilkan oleh berbagai media. 

Dari berbagai data, aktivitas ini juga sering menjadi awal dari terjadinya berbagai tindakan pelecehan/kekerasan seksual lainnya terhadap perempuan, seperti pemerkosaan, pemaksaan, dan lain-lain. Selain itu, aktivitas-aktivitas sentuhan ini juga marak terjadi hari ini pada perempuan-perempuan yang menggunakan fasilitas umum seperti transportasi dan lain-lain.

Kedua, ajakan. Maksud dari ajakan ini adalah bentuk upaya non-verbal yang bertujuan untuk menjadikan perempuan sebagai objek kekerasan/pelecehan seksual. Sama halnya dengan sentuhan, banyak juga kasus-kasus kekerasan seksual terjadi akibat tindakan yang sepertinya sederhana ini. Ketiga, pemaksaan fisik.

 Nah, aktivitas kekerasan/pelecehan seksual ini biasa kita dengar dari berbagai laporan yang justru terjadi dalam lingkup keluarga. Bahkan, seperti berbagai kasus yang viral belakangan, berbagai podcast-podcast populis pun sangat sering menghadirkan perempuan-perempuan yang menjadi korban dari tindakan ini sebagai narasumbernya.

Keempat, penggunaan paksaan dan tekanan. Nah, tindakan ini juga sering kita lihat pada tempat-tempat yang memiliki ketergantungan tinggi, seperti tempat pekerjaan, pendidikan, dan tempat lain yang mengharuskan adanya hirarki tertentu. Tentunya, kalau di tempat pekerjaan, pemaksaan dan pemberian tekanan oleh atasan kepada bawahan sudah sejak lama kita mendengar sejarahnya, namun dahulu aktivitas tersebut diakui bersama sebagai perbudakan, berbeda dengan hari ini yang dianggap sebagai bagian dari konsekuensi pekerjaan. 

Namun disisi lain, kasus pemberian paksaaan dan tekanan dalam ruang lingkup pendidikan/perguruan tinggi adalah isu yang menurut saya sangat penting untuk dikaji dan dicari solusi hari ini.

Pada tingkat pendidikan, terkhusus di perguruan tinggi, relasi kuasa memiliki perbandingan hirarkis yang sangat jelas, bahkan itu sudah menjadi pengetahuan umum bagi siapapun. Akan tetapi, sebagai tempatnya para-para manusia beradab, tentu aktivitas-aktivitas pelecehan menjadi haram untuk dilakukan. Namun, hari ini justru banyak laporan yang didapatkan oleh kelompok-kelompok perempuan dimanapun. 

Umumnya, kasus-kasus itu terjadi pada mahasiswi-mahasiswi yang sedang menjalani penyusunan skripsi. Dikarenakan itu adalah syarat akhir untuk mendapatkan gelar sarjana, maka tak jarang juga para dosen pembimbing memanfaatkan itu untuk memuaskan hasrat pribadinya, seperti yang terjadi pada salah satu kampus di Sumatera Barat beberapa waktu lalu.

Relasi kuasa yang hirarkis antara mahasiswa/mahasiswi dengan dosen hari ini bukanlah bentuk patriarkis semata, melainkan juga adanya tekanan psikologis dari seorang mahasiswa/mahasiswi sebagai korban karena pikiran akan dampak yang akan terjadi kedepannya jauh lebih fatal jika dirinya memberanikan diri untuk speak up ke publik atas pelecehan yang terjadi terhadap dirinya.

 Maka dari itulah, sudah semestinya 16 hari ini menjadi momentum bersama bagi perempuan di Indonesia, terkhusus Sumatera Barat untuk saling bergenggam tangan demi menyelamatkan diri pribadi dan juga perempuan-perempuan lainnya.

Tindakan low violence yang sering kita anggap sebagai hal biasa dan tidak akan berdampak besar, hari ini sudah harus diwaspadai. Sentuhan-sentuhan dari atasan non-biologis apapun yang dialas sebagai bentuk kasih sayang sudah mesti dihindari agar tidak ada lagi tindakan nekat lainnya terjadi kedepannya.


 Selain itu, ajakan-ajakan melalui chatting online juga mesti direspon secara dewasa dan bijaksana, agar kedepan tidak ada catatan/rekam jejak online yang juga telah menghadirkan banyak korban saat ini. Dan yang paling penting, setiap perempuan harus mampu menghimpun diri dalam berbagai kelompok agar perempuan-perempuan lain yang merasa takut untuk memberikan laporan bisa berani dan siap untuk menjadi penyelamat juga bagi perempuan lainnya. Mari lawan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan bersama-sama. Terimakasih.

0 Comments

Post a Comment