Ranah dan Rantau, Antara Realitas dan Romantisme Masa Lalu

 

Oleh :Roni Pasla. SH
Advokat/Pengacara


OPINI--Sejah peristiwa PRRI tahun 1960 dan sampai sekarang arus masyarakat Minangkabau untuk merantau sangat deras, akibatnya penghuni kampung atau nagari hanya orang tua atau anak-anak saja lagi. 


Merantau dalam budaya Minangkabau merupakan keharusan, khususnya kepada para pemuda jika ia ingin dipandang dewasa dalam masyarakat. Masyarakat Minang menganggap bahwa laki-laki remaja hingga pemuda yang belum menikah dan tidak pergi merantau sebagai orang-orang yang penakut dan tidak bisa hidup mandiri.


Dikatakan penakut karena tidak mau atau tidak berani mencoba kehidupan baru di luar daerah Minang. Sedangkan tidak bisa hidup mandiri disebabkan karena ketergantungan terhadap saudara atau sanak keluarga di daerah Minang


Orang Minang pergi merantau adalah karena cinta pada kampung halaman. Dalam hal ini falsalah adat menyatakan, ”Sayang dianak dilacuti, sayang dikampuang ditinggakan”. Di sisi lain, pergi merantau juga didorong oleh motif ekonomi agar harta pusaka di kampung tidak habis atau berkurang


Prof. Mr. M. Nasroen (1971) mengemukakan kepergian orang-orang Minang yang merantau tidaklah merugikan masyarakat Minangkabau, melainkan berisikan harapan akan mendapat rezeki di negeri orang yang akan dibawanya pulang di kemudian hari. Dalam sebuah pantun Minangkabau dilukiskan, ”Karatau madang dihulu, babungo babuah balun. Marantau bujang dahulu, dikampuang paguno balun”(Karatau madang dihulu, berbunga berbuah belum. Merantau bujang dahulu, dikampung berguna belum


Dalam kajian antropologis, budaya merantau memberi bekal visi ke depan bagi generasi muda Minang. Budaya merantau mengharuskan anak-anak muda Minangkabau untuk mengasah ilmu dan mencari pengalaman serta berhasil dulu di rantau baru bisa menjadi orang yang berguna bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Dengan demikian, merantau lebih dari sekadar migrasi penduduk dari daerah asal ke daerah tujuan sebagaimana teori dalam demografi. Merantau adalah pola migrasi yang sarat dengan konsep nilai dan budaya


Kecintaan orang Minang terhadap kampung halamannya terbangun di atas dasar ikatan batin yang kokoh sebagaimana dibuktikan setidaknya dalam dua hal, yaitu: Pertama, kepedulian yang tinggi kepada negeri asal dan adat-budayanya. Kedua, di mana tempat mereka berada, mereka membangun ikatan-ikatan kekeluargaan dalam bentuk kesatuan se-nagari asal, se-kabupaten, atau yang lebih luas dalam ikatan kekeluargaan Minang atau Sumatera Barat. Tapi menarik diamati bahwa orang Minang di rantau sangat inklusif dalam pergaulan dan interaksi sosial dengan suku lain bahkan sekali pun berbeda agama


Dalam tinjauan ekonomi pembangunan, peran dan kontribusi perantau merupakan faktor yang sangat penting dalam pembangunan di Sumatera Barat. Perantau Minang yang menyebar di seluruh kepulauan nusantara, telah memainkan peranan penting dalam  kehidupan kemasyarakatan di kampung asalnya Sumatera Barat


Peran dan kontribusi perantau tidak hanya dalam bidang pembangunan, tapi sesuai falsafah orang Minang bahwa berat sama dipikul ringan sama dijinjing, juga diwujudkan dalam penggalangan dana bantuan korban  musibah bencana alam yang terjadi di kampung halaman. Setiap ada kejadian bencana alam di Sumatera Barat, masyarakat Minang di perantauan merasa terpanggil untuk menggalang sumbangan dana antara lain melalui organisasi perantau yang ada di hampir semua kota besar di tanah air


Dalam kenyataan, tidak semua perantau Minang “sukses” dalam ukuran materi dan status sosial, tapi merantau bagi anak muda Minangkabau tetap menjadi budaya dan suatu tantangan tersendiri. Banyak perantau Minang yang rajin pulang melihat kampung halaman dan menjumpai sanak famili di sana. Namun tidak sedikit pula di antaranya yang karena berbagai sebab, tidak pulang-pulang sampai berkubur di negeri orang


Sehebat-hebatnya orang Minang di rantau, mereka masih saja memerlukan pengakuan di kampung halamannya. Oleh karena itu, kecintaan terhadap kampung halaman, keindahan alam Minangkabau, dengan Rumah gadang bersendi batu, serta bangga sebagai orang Minang yang memiliki identitas adat dan agama Islam.


Ikatan batin dengan kampung halaman diharapkan tetap melekat dalam hati sanubari setiap orang Minang di mana pun berada sampai akhir menutup mata dan diwariskan sampai ke anak cucu. Sesuai filsafat “Bhinneka Tunggal Ika”, menjadi orang Indonesia tidak berarti menghilangkan akar primordial sebagai putra daerah. Keindonesiaan sejatinya menuntut sikap menjunjung tinggi persatuan, bukan menghilangkan perbedaan sebagai kekayaan budaya bangsa yang tak ternilai.


Namun, relalita yang terjadi pada saat ini, banyak dari perantau Minang yang sudah lama merantau tidak peduli lagi dengan Kampung halamannya, Ikatan batin antara ranah dan ratau tak lagi seindah dahulu. Bahkan bagi perantau Minang yang memiliki keturunan di tanah rantau terus mengikuti perkembangan zaman, hingga anak-anak mereka tidak di ajarkan tentang Adat dan budaya Minangkabau


Akibat cepatnya perkembangan zaman kebutuhan untuk pulang ke kampung halaman bagi perantau Minang sudah sangat berkurang, hal itu di akibatkan saat ini orang-orang memanfaatkan teknologi dengan berkomunikasi dengan sanak keluarganya di kampung dengan What app, telegram bisa juga dengan cara Video Call (VC). Hal itulah salah satu akibat menurunnya minat perantau Minang untuk pulang ke kampung halamannya.


Saat ini Ikatan batin antara Ranah dan Rantau itu sangat berkurang sekali, jika kita menilik kembali kebelakang pada zaman dahulu perantau bergotong royong dengan cara "badoncek" membangun Nagari mereka, apalagi jika nagari mereka sedang di timpa musibah. namun realita yang terjadi saat ini tradisi tersebut habis terguris zaman


Selain membangun kembali taradisi bergotong royong membangun Nagari, mengajarkan adat dan budaya Minangkabau bagi anak-anak Minang yang lahir di perantauan hal tersebut sangatlah penting. Anak-anak Minang yang lahir dan tumbuh bersar di perantauan jika mereka pulang ke kampung halamannya jangan menjadi orang asing dan tidak mengetahui adat dan budaya Minangkabau.


Hubungan batin antara Ranah dan Rantau bagi masyarakat Minang hal tersebut sangatlah  penting, mari lestarikan kembali cara-cara kekompakan dan kebersamaan yang di ajarkan oleh Para leluhur kita dahulu untuk kemajuan ranah Minang.


Pada dasarnya pemuda di Minang yang merantau karena Belum berguna di kampung halamannya "Marantau bujang dahulu, dikampuang paguno balun” Namun jika Sudah berhasil di perantauan jangan lupakan kampung halaman yang dulu di tinggalkan, jadilah berguna bagi kampung halaman. Serta Bangunlah kampung halaman yang di tinggalkan dahulu dan sayangilah penduduknya.


Penulis merupakan Pemuda Malalo Tigo Jurai

0 Comments

Post a Comment