Kampung Yang Dulu

  



Oleh : Rahmat Hidayat (Pemerhati Nagari/ Anak Nagari Pulau Karam, Tarusan Pessel)


MINANGTIME.COM - Mudik Lebaran tahun ini menjadi lebih istimewa bagi perantau. Terutama terasa istimewanya bagi perantau yang sudah beberapa tahun tidak pulang kampung. Hal ini  disebabkan larangan mudik tahun lalu. Dampak  dari Pandemi Covid 19.


Seribu alasan kita untuk kenapa berlebaran di kampung? Ya,  salah satunya karena  terbayang - bayang nya suasana penuh suka cita dipelupuk mata pada hari  nan fitri. 


Pada kesempatan ini saya mengajak kita bernostalgia membayangkan masa sekitar 30 (Tiga Puluh) Tahun lalu atau lebih, saat lebaran di kampung. Duuh indahnya. Indah yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Semua terbayang. Lebaran hari yang sangat di tunggu tunggu. Anak-anak tidak sabar memakai baju baru di hari raya. Mereka  juga tidak sabar menunggu waktu pergi menambang membawa sapu tangan menanti Tunjangan Hari raya (THR ) dari Mamak, Mintuo, dan karib Kerabat lainnya.


Perantau rela memecah tabungan. Menyandang tas besar, berdesakan di terminal Bus. Tidak jarang yang mau naik bangku cadangan menempuh perjalanan jauh demi dapat berlebaran di kampung.  Sering kita mendengar Perjalanan pulang kampung diwarnai kemalangan, ada perantau yang kehilangan dompet diterminal atau disebabkan tertidur diatas bus waktu itu.


Saling merindukan. Perantau merindukan kampung halaman untuk bersua Orang Tua, sanak keluarga, kawan sepermainan sehilir semudik. Mungkin juga pujaan hati. Begitu juga sebaliknya kita yang dikampung merindukan orang rantau untuk pulang bersama sama berhari raya dikampuang.  Dulu sering saya membaca spanduk,  baik di Mesjid, Persimpangan Jalan, tempat umum lainnya bertuliskan " Selamat Datang Perantau di Kampung Halaman." sebuah ungkapan penuh kehangatan warga kampung menyambut kedatangan perantau. Sungguh menyejukkan!


Suasana suka cita lainnya misalnya saat shalat hari Raya idl Fitri, Jamah Mesjid melimpah ruah, bahkan karna ramai shalat hari raya dilaksanakan di lapangan atau halaman Mesjid. Ketiding penuh dengan infaq dan wakaf. Pengurus mesjid  bersemangat mengajak Jamaah utk berinfak berwaqaf. Terdengar sahut menyahut, dari perantau A sekian, perantau B juga tidak mau ketinggalan untuk berlomba lomba dalam kebaikan.


Silaturrahmi terasa hangat dan kental sekali. Saling bersalaman bermafaan. Anak yang sudah berumah tangga membawa anak dan istrinya  pergi “Manjalang Mintuo” menemui orang tua untuk bermaafaan. Kemenakan mengunjungi mamaknya. Semua pintu rumah terbuka untuk saling memaafkan. Saling mengunjungi antara rumah yang satu dengan yang lain.


Pemuda dikampuang bersemangat sekali menyambut lebaran.  Untuk mencari dana di acara lebaran ada ada saja ide yang muncul. Misalnya, saya dulu sering melihat pemuda dikampuang  bergotong royong menyabit padi milik warga yang upahnya digunakan untuk acara lebaran. Bagi yang berhalangan, misalnya siang nya turun ke laut, namun tetap berpartisipasi menyumbang rokok atau apa saja yang bisa disumbangkan.


Hiburan rakyat menjadi tontonan yang ditunggu-tunggu. Semua aktif terlibat mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Pemuda bergotong royong mendirikan pentas hiburan. Setiap  kampung panitia hari besar Islam ( PHBI) berlomba lomba membuat kegiatan dikampungnya. Misalnya mengadakan pertunjukan drama, penampilan bakat anak anak dan remaja, Permainan pacu karung, lomba makan kerupuk, lomba memasukan paku dalam botol, main bola pakai kain sarung, dan banyak lagi. Pokoknya meriah. Itu dulu.


Berkampung adalah soal rasa. Rasa cinta terhadap kampung halaman. Rasa ini yang tidak pernah didapatkan di tempat lain. Kita yang pernah lahir, tumbuh berkembang dikampung telah terwariskan oleh nilai nilai agama dan adat istiadat. Nilai-nilai ini  didapat dari 2 (Dua) Institusi yaitu Surau dan Lapau.  Dua institusi inilah yang akan membekali isi dada dan kepala untuk dibawa anak lelaki pergi merantau. Dikampung ada nilai nilai kekeluargaan, kegotongroyongan. “Saciok bak ayam sadanciang bak basi”. Berat sama dipikul ringan sama dijinjing. 


Beradat dan berlembaga. Nasionalisme itu dimulai dari kampung. Bagaimana mungkin seseorang menjadi Nasionalis kalau seseorang itu tidak mencintai kampung halamannya sendiri. Mencintai tanah air adalah sebagian dari Iman. Dalam pepatah Arab dikatakan, “Barang siapa yang tidak memiliki Tanah air, ia tidak memiliki sejarah. Dan, barang siapa  yang tidak memiliki sejarah , akan terlupakan.” Siapa bilang kita orang Indonesia ini sebagian besar bukan orang kampung? Buktinya saat lebaran tiba. Kota kota menjadi sepi karena sudah banyak orang yang mudik

Namun, beberapa tahun belakangan ini suasana dikampuang agak mulai berbeda dari dulu. Beda bukan dalam artian fisik. Berbeda dalam artian adanya  pergeseran nilai. Hari ini kita jarang  melihat warga ikut  gotong royong. Kalaupun  ada namun jumlah tidak seberapa. Ini soal kesadaran yang sudah mulai pudar. Lama-lama ini dikhwatirkan berujung menjadi sikap yang individualisitik. Hal lain yang sudah berbeda yaitu kita sudah mulai jarang melihat permainan anak nagari. Permainan tradisional.  Sementara permainan tradisional dalam konteks kearifan lokal adalah modal social dalam pembangunan kharakter generasi muda. Saya melihat Virus kota sudah mulai menjalar ke kampung-kampung. Misalnya, sering kita lihat, anak- anak muda sibuk menatap gawai dengan game androidnya. Tanpa memperhatikan lagi satu sama lain.


Kita sepakat, bahwa zaman telah berubah. Kemajuan zaman tidak bisa ditolak. Namun tentunya mesti tetap disaring. Menurut hemat saya, momentum lebaran tahun ini mesti dijadikan sebagai momentum perbaikan diberbagai segi, terutama dalam perkembangan kampung halaman. 


Pertama, antara Pemerintah Nagari, niniak mamak, alim ulama, tokoh masyarakat dan perantau membuka ruang dialog. Mendialogkan pikiran-pikiran sehingga pikiran lebih terbuka. Duduk bersama-sama untuk mendiskusikan perkembangan kampung/nagari. Bukankah duduk bersama-sama itu berlapang-lapang? 

Kedua, penting untuk membangun kesadaran kolektif dalam merawat tradisi. Menjaga Kearifan local yang kita miliki. Kearifan local adalah kekayan kita yang tak ternilai. Sebagai anak nagari, modernisasi jangan sampai menihilkan  nilai-nilai kearifan local yang sudah kita miliki. Antara sianak kampung dan kampungan itu maknanya sangat berbeda. Perbedannya terletak pada cara berpikir. 


Dalam konteks ini tidak perlu mencari siapa yang disalahkan. Siapa pahlawan. Pointnya  adalah bagaimana mewujudkan upaya bersama memikirkan kemajuan kampung halaman. Salah  satu kompetensi kecakapan abad 21 adalah kolaborasi. Dengan demikian, maka dalam membangun kampung halaman hari ini kolaborasi pemikiran, ide dan gagasan menjadi hal yang tidak bisa ditinggalkan. Selamat berbenah. Selamat menyambut hari Raya Idil Fitri 1443 H.

0 Comments

Post a Comment