Pengasuh Boarding School di Hukum Mati : Ada Apa Dengan Jaksa Penuntut Umum ?




MINANGTIME.COM, OPINI - Herry Wirawan oknum guru sekaligus Pimpinan Pondok Pesantren Madani Boarding School divonis Hukuman Mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung dalam kasus pemerkosaan 13 Santri pada sidang terbuka, Senin 4 April 2022

Diketahui Herry Wirawan divonis seumur hidup, namun Jaksa melakukan banding. Banding diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat ke PT Bandung melalui PN Bandung dan akhirnya mengabulkan terdakwa divonis Hukuman Mati. Hakim memperbaiki putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung yang sebelumnya menghukum Herry Wirawan dengan penjara seumur hidup.

Dalam perkara ini, Herry Wirawan tetap dijatuhi hukuman sesuai Pasal 21 KUHAP jis Pasal 27 KUHAP jis Pasal 153 ayat ( 3) KUHAP jis ayat (4) KUHAP jis Pasal 193 KUHAP jis Pasal 222 ayat (1) jis ayat (2) KUHAP jis Pasal 241 KUHAP jis Pasal 242 KUHAP, PP Nomor 27 Tahun 1983, Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76.D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo pasal 65 ayat (1) KUHP dan ketentuan-ketentuan lain yang bersangkutan.

Sebagai ulas balik, Selasa 15 Februari 2022 Herry Wirawan divonis hukuman penjara seumur hidup oleh Majelis Hakim PN Bandung. Putusan itu juga menggugurkan sejumlah tuntutan lain, seperti tuntutan Hukuman Kebiri, Restitusi, Penyitaan Aset, dan lainnya.

Pada Senin, 21 Februari 2022, Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat mengajukan banding atas putusan Majelis Hakim PN Bandung tersebut.
Jaksa menilai kejahatan Herry Wirawan yang memerkosa 13 santri hingga di antaranya mengalami kehamilan dan melahirkan 9 bayi adalah kejahatan yang sangat serius.

Hukuman mati tersebut menurut penulis layak dijatuhkan dan keputusan Majelis Hakim harus dihormati agar menjadi efek jera untuk menjadi perhatian serta pelajaran bagi banyak orang, supaya berfikir berulang kali apabila terjadi dengan kasus yang sama dikemudian hari, ditempat dan waktu yang berbeda. 

Kemudian ini juga menjadi perhatian yang berharga, terkhusus bagi orang tua dalam menyekolahkan anak-anaknya, harus lebih jeli memilihkan tempat menimba ilmu, dari latar belakang sekolah, siapa pendidiknya, dan analisa dari berbagai sudut pandang sendiri, sebab pada hari ini banyak sekolah yang terpapar Ideologi Terorisme atau Radikalisme. 

Apabila nantinya ada perubahan sikap dan pandangan anak soal lingkungannya, Pandangan soal Pemerintah, Kelompok lain, hingga Agama lain secara keras dan menunjukkan kebencian serta saling menyalakan jangan sampai dibiarkan, sebab ciri tersebut merupakan ciri-ciri terpapar paham Radikalisme.

Agar menjadi perhatian bersama, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Pesantren Bab III menjelaskan tentang pendirian dan penyelenggaraan pesantren. Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa yang dimaksud Pesantren terdiri atas beberapa hal.

Pertama, Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk pengkajian kitab kuning. 

Kedua, Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk Dirasah Islamiyah dengan pola Pendidikan Muallimin.

Ketiga, Pesantren yang menyelenggarakan Pendidikan dalam bentuk lainnya yang terintegrasi dengan Pendidikan Umum.
Kemudian, Pesantren yang dimaksud itu harus memenuhi beberapa unsur. Di antaranya Kiai, Santri yang bermukim di Pesantren, Pondok atau Asrama, Masjid atau Musholla, dan kajian Kitab Kuning atau dirasah Islamiyah kuning atau Dirasah Islamiyah dengan pola Pendidikan Muallimin.

Sementara pada pasal 6, masih di bab yang sama dijelaskan bahwa pesantren didirikan oleh Perseorangan, Yayasan, Organisasi Masyarakat Islam, dan/atau masyarakat. Pesantren wajib berkomitmen mengamalkan Nilai Islam Rahmatan lil 'alamin dan berdasarkan Pancasila, UUD 1945, serta Bhinneka Tunggal Ika.

Hukuman Mati berkaitan dengan HAM

Merujuk keputusan yang disahkan pada Sidang Pleno Muktamar Ke-33 NU di Jombang , 5 Agustus 2015. Hukuman mati merupakan bukti dari upaya serius syariat Islam untuk memberantas kejahatan berat yang menjadi bencana kemanusiaan, seperti pembunuhan. Sanksi tersebut dinilai setimpal dan menjadi pelajaran paling efektif bagi orang lain supaya tidak berbuat hal yang sama.

Muktamirin berpandangan, pada hakikatnya dimaksudkan untuk beberapa hal, antara lain (1) memberantas tuntas kejahatan yang tidak dapat diberantas dengan hukuman yang lebih ringan, (2) orang lain akan terkendali untuk tidak melakukannya karena mereka tidak akan mau dihukum mati, (3) melindungi orang banyak dari tindak kejahatan itu.

Dengan berpijak pada dasar hakikat disyariatkannya hukuman mati ini, hukuman mati dinilai tak dapat dinyatakan melanggar HAM. Justru sebaliknya, hukuman tersebut untuk memberantas pelanggaran HAM dengan membela hak hidup orang banyak.

Penulis : Age Kurniawan, SE, MM (Ketua PC GP Ansor Kabupaten Dharmasraya)

0 Comments

Post a Comment