MINANGTIME -Warga Air Bangis, Kecamatan Sungai Beremas yang menempati lahan hutan milik negara di Jorong Pigogah menolak menyerahkan kepada negara, lahan sekitar seluas 19.000 hektare itu telah ditempati atau dikelola masyarakat sudah puluhan tahun. Mereka menyebut lahan yang ditempati adalah lahan milik adat.
Warga Air Bangis,
Kecamatan Sungai Beremas yang menempati lahan hutan milik negara di Jorong
Pigogah menolak menyerahkan kepada negara.
Lahan sekitar seluas
19.000 hektare itu telah ditempati atau dikelola masyarakat sudah puluhan
tahun. Mereka menyebut lahan yang ditempati adalah lahan milik adat.
Warga Air Bangis,
Kecamatan Sungai Beremas yang menempati lahan hutan milik negara di Jorong
Pigogah menolak menyerahkan kepada negara.
Lahan sekitar seluas
19.000 hektare itu telah ditempati atau dikelola masyarakat sudah puluhan
tahun. Mereka menyebut lahan yang ditempati adalah lahan milik adat.
Ia menjelaskan, warga
yang menggarap lahan hutan lindung tidak mengetahui selama ini, bahwa lahan
yang digarap sudah puluhan tahun merupakan lahan hutan lindung milik negara.
“Kami masyarakat adat,
yang kami tahu itu adalah lahan milik adat. Sekarang kami dituntut untuk
menyerahkan lahan secara menyeluruh tanpa terkecuali. Kemudian kami disuruh
masuk ke koperasi yang telah ditunjuk gubernur,” jelasnya.
Menurutnya, penyelesaian
pengelolaan lahan hutan milik negara secara tidak sah untuk perkebunan sawit
masyarakat di Air Bangis Kecamatan Sungai Beremes Kabupaten Pasaman Barat,
melalui koperasi yang telah dibentuk terkesan aneh.
“Kami tak tahu kapan
koperasi ini dibentuk, yang namanya koperasi setahu saya dibentuk oleh
sekelompok petani. Ini tiba-tiba saja sudah ada pengurusnya. Ini kan aneh,
warga yang mengelola lahan sekarang diarahkan ke KSU 374,” terangnya.
Ia menerangkan KSU 374
adalah koperasi yang telah ditunjuk gubernur untuk nantinya mengelola lahan
masyarakat yang tanaman sudah berusia rata-rata 20 tahunan.
“Luas lahan yang
dikelola masyarakat setahu saya saat disampaikan Dinas Kehutanan tadi ada
sekitar 19.000 hektare. Total lahan yang disebutkan hampir semua dikuasai
masyarakat dan termasuk pinggir jalan hitam,” terangnya.
Ia menjelaskan, lahan
sekitar seluas 19.000 hektare itu sekarang ditempati warga sebanyak 3 kampung
yakni Kampung Lubuk Buaya, Kampung Lubuk Bontar dan Kampung Gunung Bungkuak.
“Kalau jumlah jiwa kita
tidak bisa menghitung, karena banyak juga warga pendatang yang membuka lahan
adat kami. Kami akui secara legalitas kepemilikan lahan kami tidak ada, namun
karena kami sebagai warga yang kami ketahui ini tanah ulayat pati bubur,”
jelasnya.
Selama ini, katanya,
tidak ada yang membeli lahan di sini, tetapi diberi izin sebagai cucu kemenakan
untuk menggarap atau hak pakai mengelola tanah ulayat dan tak boleh
diperjualbelikan.
"Seharusnya negara
juga memberikan kesejahteraan kepada warga nya dengan memberikan izin garapan
lahan hutan,” sambungnya.
Ia juga mengungkapkan
hasil kesimpulan pertemuan warga dengan pemerintah yang melibatkan Pemda
Pasbar, Pemprov Sumbar, Polda dan Kejaksaan bahwa menunggu hasil pendataan
penyerahan lahan.
“Ada seribuan warga
yang menghadiri pertemuan, permintaan kami tidak banyak, karena kami sudah lama
menggarap lahan, kami ingin aman dalam mengambil hasil tanaman yang kami tanam
sendiri puluhan tahun lalu tanpa intimidasi bahwa yang kami lakukan adalah
tindak pidana,” ungkapnya.
Di lokasi tanah yang
digarap, ada baleho dengan bertuliskan jangan panen dan sayangi anak istri. Ini
kan aneh, tanaman yang kami tanam sendiri dilarang dipanen. Baleho ini ada
lebih kurang dua minggu,” sambungnya.
Selain itu kata dia
untuk batas wilayah hutan lindung yang diketahui nya tidak ada, namun semua
lahan yang kami garap atau pemukiman yang ada berada di zona kuning berdasarkan
pemetaan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan.
“Lahan dan pemukiman
disini berada di hutan lindung dan hutan produksi. Sejauh ini sudah ada satu
orang warga yang menjadi korban kriminalisasi, saat ini dia ditahan lapas.
Warga kita ini ditahan karena tidak mau menyerahkan lahan yang ia miliki,”
katanya.
"Lahan yang mereka
miliki tak memiliki izin dan memiliki kapasitas luas yang melebihi dari yang
telah ditetapkan pemerintah, memang dari awal sudah sampaikan kami tak punya
izin, kami hanya punya izin garap sebagai masyarakat adat,” sambungnya lagi.
Sementara itu anggota
DPRD dari Fraksi Gerindra Pasaman Barat, Heri Miheldi mengatakan sebagai wakil
rakyat yang diamanahkan akan membawa masalah ini sampai ke DPR RI.
Menurutnya warga yang berada di lahan hutan lindung
atau hutan produksi milik negara itu sudah puluhan tahun menggarap dan mendiami
lahan tersebut.
“Kenapa baru sekarang negara datang dengan dalih itu
tanah milik negara. Kenapa tidak dari dulu disampaikan, apa karena hutan itu
sudah berproduksi atau karena sudah ada akses jalan yang bagus,” tegasnya.
Ia menduga ada pihak-pihak yang ingin mengambil
keuntungan dan berkepentingan. Ia juga mempertanyakan koperasi Hutan Tanaman
Rakyat (HTR) KSU 374.
“Apa itu koperasi HTR, anggota nya saja belum jelas, ini cacat hukum secara perundang-undangan koperasi. Pengurus koperasi ini kabar nya sudah terbentuk, dibentuk dimana dan siapa anggota nya,” tanyanya. (Irfan)
SUMBER : POSKOTA
0 Comments