Kekacauan Diskresi Dalam Edaran Disdik Padang




Oleh: Farid Anshar Alghifari (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Padang )

Dalam beberapa hari terakhir, masyarakat Kota Padang dibuat resah akibat Edaran yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Kota Padang yang melarang Pertemuan Tatap Muka bagi siswa sekolah dasar yang belum divaksin. Kemudian tak lama muncul reaksi penolakan yang mayoritas berasal dari kalangan orang tua/ wali murid. Bagaimana mungkin vaksinasi menjadi alasan pemerintah mengibiri hak anak untuk belajar di sekolah. 

Sebelumnya Pemerintah Kota Padang melalui Dinas Pendidikan mengeluarkan kebijakan dalam Surat Edaran nomor 421.1/456/Dikbud.Diknas.03/2022 tentang Pelaksanaan Vaksinasi Anak Usia 6-11 Tahun untuk Pencegahan Covid-19. Pada poin ke-2 disebutkan bahwa bagi siswa yang belum/tidak divaksin agar melaksanakan pembelajaran secara mandiri di rumah yang dibimbing oleh orang tua. Secara materil tentu saja poin ini bersifat kontroversiersial dan tidak fair. 

Buntut dari edaran yang sarat diskriminasi tersebut membuat sejumlah wali murid berdatangan ke gedung DPRD Kota Padang pada Senin (14/02) dan menyampaikan tuntutan agar Surat Edaran tersebut dicabut demi anak-anak dapat kembali ke sekolah.

Selanjutnya, hal yang menarik disimak dalam polemik ini adalah dari sisi regulasi yang mengaturnya, mengingat sampai hari ini secara yuridis belum ada satu pun Peraturan Perundang-Undangan yang menegaskan secara pasti terkait kedudukan Surat Edaran sebagai sebuah peraturan yang mengikat.

Satu-satunya rasionalisasi yang dapat diterima dari pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan ini adalah bahwa Surat Edaran merupakan sebuah kebijakan yang bersifat inisiatif, yang diambil ketika dalam kedaan tertentu sedangkan Peraturan Perundang-Undangan yang ada belum mengatur sepenuhnya.  

Memahami sebuah Surat Edaran dapat dimulai dari mengurai terminologi tentang kewenangan bebas yang dimiliki pemerintah yang disebut dengan Freies Ermessen atau Discretionary Power, atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan Diskresi, yaitu sebuah sarana pemerintah dalam upaya melaksanakan kewenangan tanpa harus terikat dengan ketentuan Peraturan Peundang-Undangan.

Meskipun diskresi memberikan kebebasan bagi pemerintah dalam mengambil tindakan hukum, namun dalam pengimplementasiannya, pemerintah tidak boleh sembarangan dan sewewenang, serta menabrak prinsip prinsip yang berlaku. Hal ini sebagaimana dikuatkan dalam Pasal 24 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menyebutkan bahwa diskresi tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan serta harus seusuai dengan Asas-asas Umum Penyelenggaraan Negara yang Baik (AUPB). Sedangkan diketahui bahwa di antara AUPB tersebut adalah asas kemanfaatan, asas kepentingan umum, asas pelayanan yang baik, dan asas tidak menyalahgunakan wewenang.
Diskresi erat kaitannya dengan produk kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah. Maka peraturan-peraturan yang dikeluarkan berlandaskan kewenangan ini disebut dengan peraturan kebijakan (beleidsregel). 

Kembali ke soal Edaran Disdik Kota Padang. Meskipun selang beberapa hari setelah aksi demo yang dilakukan oleh orang tua siswa keluar pernyataan dari Wali Kota Padang Hendri Septa bahwa dalam Edaran tersebut tidak ada maksud memaksa anak untuk mengikuti vaksinasi. Alih-alih mempertimbangkan aspirasi para wali murid, Wali Kota justru buru-buru mengatakan tidak akan mencabut Edaran tersebut. 

Padahal secara jelas bahwa Edaran tersebut bermasalah baik secara normatif, yuridis, maupun sosiologis, dan tentu saja satu-satunya jalan keluar yang arif adalah mencabut Surat Edaran tersebut. Adapun terkait hal ini sekurang-kurangnya ada dua argument penulis.

Pertama, Surat Edaran Disdik Padang sebagai bagian dari peraturan kebijakan (beleidsregel) telah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dalam hal ini peraturan yang dimaksud termasuk Peraturan Perundang-Undangan dimana posisinya telah didudukkan dengan tegas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Di antara peraturan yang ditentang adalah UUD NRI Tahun 1945 pada pasal 31 yang menyebutkan bahwa pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara tetapi pendidikan dasar merupakan kewajiban yang harus diikuti oleh setiap warga negara dan pemerintah wajib membiayai kegiatan tersebut. Kemudian dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Sisdiknas juga menegaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

Kedua, pelarangan belajar tatap muka (PTM) bagi siswa yang belum divaksin adalah bentuk diskriminasi yang sudah barang tentu mempengaruhi kondisi mental anak. Belum lagi dengan dampak kecemburuan sosial yang dirasakan anak di kalangan teman sebayanya yang satu sama lain tidak memperoleh hak yang sama dalam hal belajar. Apalagi menyangkut dengan mutu yang diterima anak yang belajar di rumah dengan anak yang belajar di sekolah, tentu saja berbeda, dan akan lain ceritanya jika seluruh siswa sama-sama belajar dari rumah.

Maka dari itu, langkah tepat yang semestinya diambil oleh Pemerintah Kota Padang adalah mencabut Surat Edaran tersebut. Sebab, bagaimana mungkin sebuah peraturan kebijakan yang dibuat menimbulkan masalah, dan bahkan kedudukannya sendiri pun bermasalah. Jangan hanya persoalan angka vaksinasi yang menjadi titik fokus terpenting, tetapi alangkah lebih baik pemenuhan hak pendidikan anak yang diutamakan, tanpa melupakan jalannya sosialiasi vaksinasi secara berlanjut dan lebih persuasif.

0 Comments

Post a Comment