KPK Kini dan Dekadensi Kepercayaan Publik

 


Oleh: Farid Anshar Alghifari

Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Syariah UIN Imam Bonjol


MINANG TIME -  Pernahkah terpikir oleh kita selama ini bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga kebanggaan rakyat akan terjerembat di lubang keprihatinan seperti sekarang? Mungkin tidak sama sekali. Sepanjang berdirinya, KPK terus melaju dengan penuh dinamika, mengiringi setiap proses dan langkah perjalanannya. Jika pun dahulu terdapat barang satu atau dua persoalan, paling-paling hanya bersifat persoalan kecil yang tentu masih dapat dimafhumi. Ibarat kata tersandung di kerikil-kerikil kecil. Namun, sandungan demi sandungan saat itu tidak lah menjadi kerisauan yang teramat dalam bagi rakyat akan masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun lain cerita dengan KPK kini, merisaukan!


 Sejak pertama kali resmi berdiri pada tanggal 23 Desember 2003 hingga kini, KPK telah berdiri selama 17 tahun menjadi pendorong dan stimulus pemberantasan korupsi (trigger mechanism). Tercatat setidaknya tiga rezim kepemimpinan di Indonesia yang berlangsung sejalan dengan perjalanan KPK. Mulai dari kepemimpinan Presiden Megawati, SBY, hingga Joko Widodo. Di mana pada masing-masing kepemimpinan rezim tersebut tercatat kiprah dan capaian KPK yang variatif. Kiprah dan capaian yang tentu dapat diukur melalui berbagai instrumen, salah satunya melaui Corruption Perception Index (CPI) yang dirilis oleh Transparency Internasional (TI). 


Dikutip dari situs kpk.id, pada tahun pertama berdirinnya KPK, CPI berada di skor 19, kemudian terus mengalami pertumbuhan demi pertumbuhan hingga Indonesia berhasil mencatakan skor 38 pada tahun 2018. Di tahun berikutnya, pada 2019 mengalami peningkatan dengan catatan skor 40. Sayangnya skor tersebut tidak berhasil dipertahankan atau bahkan ditingkatkan oleh para pimpinan yang pada saatu itu baru menjabat. Firli Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023 dan kawan-kawannya justru menjalankan kepemimpinan yang sarat dengan catatan merah serta skor CPI yang turun ke anga 37. KPK kini memprihatinkan!


 Berbicara KPK kini adalah berbicara tentang KPK di masa kepempinan Firli Bahuri sebagai Ketua yang akan menjabat hingga tahun 2023 mendatang. Sulit untuk memungkiri ungkapan bahwa periode kepemimpinan KPK di tangan jendral polisi bintang tiga tersebut adalah yang terburuk sepanjang berdirinya lembaga antirasuah tersebut. Berbagai persoalan memprihatinkan terus bergulir tak henti. 


Persoalan yang sangat memukul hati masyarakat adalah perubahan perangkat hukum KPK dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang kini telah berganti menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Perubahan yang bukannya menguatkan malah justru mereduksi peranan dan wewenang KPK. Perubahan peraturan perundang-undangan tersebut telah memberikan berbagai konsekuensi mengejutkan yang berdampak pada sejumlah urusan pelembagaan serta tata kelola organisasi yang selama ini tidak pernah terjadi di tubuh KPK. Mengenai hal ini, hemat penulis melihat terdapat satu dampak yang paling krusial yaitu soal independensi.


Independesi merupakan pondasi utama bagi KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi. Kehadiran revisi UU KPK telah mengikis pondasi utama tersebut serta menghadirkan permasalahan serius yang selama ini tidak pernah terbayangkan. Persoalan independensi KPK ini terlihat pada Undang-Undang KPK yang baru.


Merujuk Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebut bahwa pegawai Komisi Pemeberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara. Dalam Pasal 69 C juga disebutkan bahwa pada saat Undang-Undang ini berlaku (17 Septemberi 2019) pegawai KPK yang belum berstatus sebagai pegawai ASN dalam jangka aktu paling lama 2 tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku dapat diangkat menjadi pegawai ASN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Landasan hukum pada Undang-Undang KPK tersebut kemudian diikuti dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 yang mengatur tentang pengalihan pegawai KPK menjadi ASN.


 Dikutip dari antaranews.com, ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan alih status pegawai KPK menjadi ASN akan berpengaruh besar pada independesinya dalam memberantas praktik korupsi di Tanah Air. Ketika lembaga antirasuah tersebut didirikan, sumber daya manusianya sengaja dibuat tersendiri dan didukung dengan Perauran Pemerintah (PP) yang dipisahkan dengan ASN pada umumnya.


 Kekhawatiran masyarakat terhadap kinerja KPK dalam memberantas korupsi semakin bertambah dengan munculnya kebijakan pimpinan KPK mengadakan tes wawasan kebangsaan (TWK) yang terhadap para pegawai KPK. Tidak main-main, hasil tes tersebut berdampak pada pemberhentian para sejumlah pegawai yang dianggap tidak memenuhi syarat (TMS). Alhasil masyrakat kehilangan orang-orang terbaik dan berprestasi yang selama ini telah malang melintang di KPK melakukan pemberantasan korupsi. Bahkan sekelas penyidik senior Novel Baswedan pun masuk kategori tidak lulus. Tak heran jika kebijakan tes yang subjektif ini sarat dengan kepentingan kelompok tertentu, bermuatan politis, serta cenderung sebagai upaya penyingkiran para pegawai yang kritis.


 Setidaknya begitulah potret singkat KPK kini. Semakin lemah, rapuh, dan penuh dengan kontroversi. Tidak ada capaian signifikan atau sekadar prestasi dalam praktik pemberantasan korupsi terjadi. Integritas sumber daya KPK saat ini sangat dipertanyakan. Terlebih bila melihat sejumlah kebijakan yang makin hari makin melukai perasaan rakyat. KPK dulu bukanlah KPK yang sekarang. 


 Berangkat dari potret KPK tersebutlah yang menjadi dasar bagi publik dalam menaruh asa serta kepercayaan terhadap nasip KPK dan upaya pemberantasan bahaya laten korupsi. Kepercayaan publik saat ini menunjukkan kemerosotan yang cukup jauh dibanding dengan waktu-waktu sebelumnya. 


 Hasil survey yang dirilis oleh Cyrus Network sebagaimana dikutip dari situs berita nasional kompas.com menyebutkan bahwa tingkat kepercayaan public terhadap KPK justru lebih rendah dari kepolisian. Berdasarkan suvei tersebut, tingkat kepercayaan publik terhadap polri mencapai 86,2 persen, sedangkan KPK 80,7 persen. Hal ini tentu imbas dari sejumlah isu yang terus menerpa di tubuh KPK. 


 Kepercayaan publik merupakan elemen penting bagi keberlangsungan sebuah sebuah lembaga negara. Jika kepercayaan publik merosot sudah barang tentu ada kesalahan yang terjadi di lembaga tersebut. Entah itu karena kebijakan-kebijakan yang bergulir, atau bahkan sebab para pimpinan lembaga itu sendiri. KPK kini sungguh sangat memprihatinkan, sebab sejumlah isu dan kebijakan, belum lagi dengan kontroversialnya para pimpinan, tidak salah kepercayaan publik pun tergadaikan.

#SaveKPK

#ReformasiDikorupsi

 

0 Comments

Post a Comment