LITERASI DI ERA GLOBALISASI


Oleh : Dwita Rizky Adhisty (1801020037)

Saat ini di zaman pemakaian gadget semakin merajalela dan sinyal internet bisa didapatkan di berbagai tempat, anak-anak dan remaja jauh lebih suka bermain ponsel daripada membaca buku. Jika mereka pergi ke pusat perbelanjaan, mereka akan memilih pergi ke toko pakaian atau toko mainan, alih-alih ke toko buku. Jika mereka ada di rumah, mereka lebih senang menonton televisi atau YouTube dibanding melirik buku dalam lemari. Di Indonesia, televisi lebih berguna untuk menyiarkan sesuatu dibandingkan lewat buku.

Orangtua pun lebih bangga bila anaknya bisa terkenal di sosial media melalui foto-fotonya, dibanding bangga jika anak rajin membaca buku dan menulis. Padahal, banyak sekali manfaat yang bisa didapatkan dari membaca buku. Tidak harus buku pelajaran atau ensiklopedia. Tetapi dari membaca novel atau buku cerita pun, anak dan remaja bisa mendapat informasi yang tidak didapat di buku pelajaran. Anak dan remaja juga bisa memetik pesan dari buku yang dibaca, seperti nilai moral dan pelajaran kehidupan. Ketika membaca buku, juga dapat memperkaya kosa kata, membuat mereka lebih fasih dalam berbicara. Kosa kata yang kaya akan berguna bila anak bercita-cita menjadi pembicara.

Sejauh ini Indonesia termasuk negara yang cukup aman. Meskipun ada beberapa berita kriminalitas dan korupsi di beberapa media, kasus kerusuhan muncul di sana-sini, namun hal itu tidak mencegah anak untuk terus berangkat ke sekolah setiap pagi untuk belajar. Tidak ada perang atau kerusuhan serius yang menimbulkan ketakutan sampai anak tidak ingin berangkat ke sekolah. Inilah yang harus kita syukuri. Di negara yang cukup aman ini, sebaiknya mutu pendidikan juga diperhatikan. Kurikulum yang matang akan sangat membantu anak dalam pembelajarannya di sekolah.

Apabila pemerintah memberikan perhatian terhadap masalah kurikulum sekolah yang sering berganti-ganti ini maka pendidikan di Indonesia bisa lebih baik lagi. Dua tahun terakhir, pemerintah sudah mulai mengadakan gerakan literasi untuk mendukung anak agar semakin mencintai membaca, seperti Tantangan Membaca, Gerakan Literasi Sekolah, dan lain-lain. Ke depannya, semoga pemerintah bisa semakin mendukung gerakan literasi dan mematangkan kurikulum pendidikan di Indonesia.

Pada penelitian yang sama, PISA juga menempatkan posisi membaca siswa Indonesia di urutan ke 57 dari 65 negara yang diteliti. PISA menyebutkan, tak ada satu siswa pun di Indonesia yang meraih nilai literasi ditingkat kelima, hanya 0,4 persen siswa yang memiliki kemampuan literasi tingkat empat. Selebihnya di bawah tingkat tiga, bahkan di bawah tingkat satu.
Data statistik UNESCO 2012 yang menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Angka UNDP juga mengejutkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen saja. Sedangkan Malaysia sudah 86,4 persen.

Sebuah survei yang dilakukan Central Connecticut State University di New Britain yang bekerja sama dengan sejumlah peneliti sosial menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara terkait minat baca. Survei dilakukan sejak 2003 hingga 2014. Indonesia hanya unggul dari Bostwana yang puas di posisi 61. Sedangkan Thailand berada satu tingkat di atas Indonesia, di posisi 59. (Media Indonesia, 30/08/2016).


Gerakan literasi merupakan salah satu bentuk penumbuhan budi pekerti atau pendidikan karakter. Hal yang menjadi dasarnya adalah Permendibud nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Bentuk gerakan literasi di sekolah antara lain; pembiasaan membaca buku nonteks 15 menit sebelum pembelajaran, membuat pojok baca, membuat pohon literasi, majalah dinding (mading), laporan bacaan buku, dan sebagainya.
Ada enam jenis literasi dasar, yaitu:

1. Literasi baca-tulis
2.Literasi numerasi
3.Lliterasi finansial
4. Literasi sains
5.Literasi sains dan kewarganegaraan
6.Lliterasi teknologi informasi, dan komunikasi.

Kalau keenam literasi literasi ini mau dikerucutkan lagi, maka literasi baca-tulis menjadi literasi yang paling utama.  Literasi baca-tulis pada pendidikan dasar, khususnya pada jenjang SD harus diperkuat, karena SD adalah fondasi dalam pendidikan siswa di lembaga formal. Literasi merupakan pintu gerbang untuk menguasai materi pelajaran. Di kelas rendah (I-III) diajarkan membaca, menulis, dan berhitung (CALISTUNG) yang notabene merupakan literasi yang paling mendasar.

Literasi secara sederhana diartikan sebagai keberaksaraan. Dalam perkembangannya, literasi bukan hanya diidentikkan dengan kemampuan calistung, tetapi juga pada aspek yang lain seperti kemampuan memilih dan memilah informasi, berkomunikasi, dan bersosialisasi dalam masyarakat. UNESCO tahun 2003 menyatakan bahwa "Literasi lebih dari sekedar membaca dan menulis. Literasi juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya."

Walau pengertian literasi sudah berkembang, aktivitas membaca dan menulis merupakan hal yang paling mendasar dalam literasi. Mengapa demikian? Karena memilih dan memilah informasi tentunya dilakukan dengan membaca. Dan aktivitas membaca hanya dilakukan jika ada bacaan yang notabenekarya para penulis.

Literasi dipahami beragam oleh masyarakat. Literasi, pada mulanya dihubungkan dengan hal membaca dan menulis. Seiring dengan perkembangan zaman, istilah literasi disesuaikan dengan medianya. Untuk lebih memahami media baru literasi, berikut ini klasifikasi literasi menurut Baran, (2004: 38-49).


  1.  Literasi klasik (membaca, menulis, memahami) yang menghubungkan kepada proses membaca dan menulis, serta di sekolah-sekolah dasar telah digunakan sebagai aturan dasar.
  2. Literasi audiovisual yang menghubungkan kepada media elektronik seperti film dan televisi, fokus pada gambar dan rangkaian gambar. Ini merupakan permulaan dari pendidikan berbeda yang digagas dengan segera tetapi tidak didukung penuh oleh kebijakan yang nyata.
  3. Informasi atau digital literasi yang berasal dari komputer dan media digital yang telah membuat pentingnya belajar keterampilan baru. Ini merupakan konsep terbaru dan sering digunakan untuk mengacu pada keterampilan teknik yang diperlukan untuk peralatan digital modern.
  4. Literasi Media yang dibutuhkan sebagai hasil dari konvergensi media –yang menggabungkan media elektronik (komunikasi massa) dan media digital (komunikasi multimedia) yang terjadi dalam berbagai perkembangan masyarakat informasi. Literasi Media ini meliputi beragam bentuk literasi: membaca, menulis, audiovisual, digital dan keterampilan baru yang diperlukan dalam sebuah iklim konvergensi media.

Berdasarkan klasifikasi literasi dengan perspekif media tersebut, dapat dipahami bahwa literasi merupakan kekuatan lunak (softpower) berbagai subsektor industri kreatif. Tanpa literasi, produk kreatif akan terasa hambar sebab ruhnya ada di tataran konstruksi dasar konseptual itu. Sementara, media kreatif merupakan kekuatan bendawi (hardpower). Tiga media yang terkait erat dengan literasi ialah media cetak, media audiovisual, dan media internet seperti daring (online), ponsel (handphone), permaian (game).

Definisi literasi media yang disampaikan James Potter, yaitu: A set of perspectives that we actively expose ourselves to the media to interpret the meaning of the messages we encounter. We build our perspectives from knowledge structures. To build our knowledge structures, we need tools and raw material. These tools are our skills. The raw material is information from the media and the real world. Active use means that we are aware of the messages and are consciously interacting with them (Potter, 2005: 22).

0 Comments

Post a Comment